Dilema Ibu Tuti
Ibu Tuti orang Rancaekek asli. Sudah lama ia punya perasaan tidak nyaman dengan namanya. Semua orang di lingkungannya memanggilnya dengan panggilan Bu Tut. Pertama-tama, tentu saja, orang-orang se-akan akan mengejeknya dengan panggilan tersebut. Kedua ia merasa tidak enak pada keluarganya dan segala sesuatu yang berhubungan dengan dirinya. Suamiku menjadi dipanggil suami Bu Tut, keluhnya, kemudian anak-anakku menjadi anak-anak Bu Tut. Begitu juga dengan apa-apa yang menjadi milikku, kucingku menjadi kucing Bu Tut, mobilku meskipun baru, karena punyaku, maka menjadi mobil Bu Tut, rumahku - meskipun mentereng, menjadi rumah Bu Tut. Semua yang berhubungan denganku menjadi Bu Tut.
Sungguh merasa sangat tidak nyamanlahlah Ibu Tuti.
Akhirnya ia mengambil strategi. Ia merubah penampilannya menjadi anak muda belasan tahun, rambutnya dipotong pendek, dandanan dan penampilannya meniru gaya K-Pop. Tujuannya supaya tidak ada orang yang memanggilnya ibu. Lingkungan pergaulannya-pun diubahnya, ia lebih banyak bergaul dengan anak-anak muda kota yang modis dan bergaya modern. Dan karena Ibu Tuti orang yang lincah dan supel, maka dalam waktu singkat ia sudah punya banyak teman sesama anak-anak muda tersebut. Dan berhasil, - di kalangan ini ia tidak lagi dipanggil ibu, ia dipanggil dengan panggilan yang akrab dan manis, ’ Tut ’.
Karena senangnya, maka pada kesempatan ulang tahunnya ia merayakannya dengan besar-besaran, ia undang semua teman-teman mudanya tersebut. Pada saatnya perayaan, Ibu Tuti sudah siap menyambut di pintu masuk rumah. Begitu mereka muncul, maka mereka satu per satu mengucapkan salam perjumpaan dengan gaya modern mereka, “Hi ...Tut!”, “Hi ...Tut!”, “Hi ...Tut!” . Semuanya mengucapkan Hi Tut.
Sekarang ketidak-nyamanan Ibu Tuti berubah menjadi kesedihan yang mendalam.
Ternyata Ibu Tuti bukanlah tipe orang yang pantang mundur. Dan ia juga seaorang wanita yang cerdas. Ini semua gara-gara aku orang Sunda, pikirnya, aku harus jadi orang Jawa. Tak akan terjadi lagi pelecehan terhadap namaku dengan istilah-istilah itu.
Karena Ibu Tuti orang yang suka “nanya”, maka ia berkonsultasi dahulu dengan orang pintar langganannya, Mbah Karyo, orang Jawa yang mukim di Bandung, bekas pelaut yang menurut pengakuannya sudah melanglang buana dan sudah berumur lebih dari 100 tahun.
Mbah Karyo tentu saja senang. Bagus Ibu, …dengan menjadi orang Jawa nama Ibu akan terjaga dengan ba-ek, kata si Mbah dengan aksen jawanya yang sangat medok. Tapi untuk jadi orang Jawa, lanjutnya, nama Ibu harus ditambah dengan nama Jawa. Tidak keberatan Mbah, asal nama saya yang asli jangan dipotong harus utuh: -Tuti, jawab Ibu Tuti yang sudah trauma kalau namanya dipotong-potong. Oo.. tidak Ibu Thuthi, kata Mbah, tidak akan dipotong, dan memberi nama tambahan itu tidak bisa sembarangan, untuk itu saya harus mendapat petunjuk dahulu dari para leluhur. Besok datanglah kesini lagi mudah-mudahan nanti malam siMbah sudah mendapat ilapat.
Ibu Tuti pulang dengan perasaan bungah, iapun membayang-bayangkan nama barunya itu seperti ... Ayu Tingting, atau... wah,.. Dian Sastro?! Ibu Tuti harapannya berkembang menjadi lebih jauh.
Esok harinya datanglah Ibu Tuti menghadap Mbah Karyo. Alhamdulillah sudah ada wangsit untuk nama Ibu, sambut Mbah. Apa nama lengkap saya jadinya Mbah? kejar Bu Tuti dengan semangat. Mbah Karyo-pun menjawab dengan logat jawanya yang medok dan berwibawa: “ Niken Tuti…”.
Maka lemaslah Ibu Tuti.
No comments:
Post a Comment